Selasa, 24 November 2009

konsep politik syi'ah dan sunny

KONSEP POLITIK ISLAM SUNNY DAN SYI’AH

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH FIQH SIYASAH

OLEH:
CHOIRUL ANAM (HI 3A)
NIM: 108083000020
EMAIL: anam_irul07@yahoo.com


JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENDAHULUAN

Politik saat ini merupakan suatu hal yang sangat lelekat dalam hidup manusia. Sadar atau tidak, mau atau tidak politik ikut mempengaruhi kehidupan kita baik sebagai individu maupun sebagai baguian dari kelompok sebuah masyarakat. Akan tetapi sekarang politik sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang buruk, banyak kalangan mencemooh akan jeleknya dunia politik.

Akan tetapi kalau menurut saya pribadi politik adalah sesuatu yang wajar- wajar saja bahkan sangat penting bagi manusia untuk menjalani hidupnya di dunia ini, kenapa?karena politik adalah sebuah jalan untuk memperoleh sebuah kekeuasaan, dalam hal ini saya menganalogikan kekuasaan sebagai sebuah kepemimpinan. Karena hanya orang- orang yang mempunyai jiwa- jiwa kepemimpinan yang dapat menguasai sebuah kelompok.

Dan pemimpin adalah sebuah kebutuhan yang sangat penting dalam hidup bermasyarakat, bayangkan seandainya dalam negara ini tidak mempunyai seorang pemimpin! Mereka berjalan sendiri- sendiri tanpa ada yang mengatur, betapa kacaunya negara ini jika hal itu sampai terjadi. Tidak akan ada yang mengatur hukum, hak dan kewajiban. Maka dari itu saya pernah mendengar sebuah ungkapan bahwa sebuah kelompok itu lebih baik mempunya pemimpin yang dzalim dari pada tidak mempunya pemimpin.

Oleh karena itu dalam islam pun tidak ada larangan untuk berpolitik, terbukti dengan banyaknya aliran- aliran dalam Islam. Dalam makalah ini akan di uraikan tentang aliran syi’ah dan sunny yang notabene adalah kelompok- kelompok terbesar dalam dunia Islam. Sebagai dua kelompok yang mempunyai pengikut terbesar dalam Islam tentunya mempunyai struktur yang sangat terorganisir, dan politik sudah pasti ada dalam kelompok tersebut. Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana konsep politik kedua kelompok tersebut.




PERMASALAHAN

1. Apa pengertian politik?
2. Bagaimana politik dalam pandangan Islam?
3. Seperti apakah konsep politik Syi’ah dan Sunny?






























PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik

politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik . Dalam pengertian yang lain dapat dikategorikan sebagai sebuah cara untuk mencapai kekuasaan dalam sebuah kelompok. Bagaimana cara kita mencapai tujuan kehidupan yang baik itu? Banyak cara untuk mencapai tujuan tersebuat meskipun tak jarang bertentangan dengan lainnya bahkan tak jarang sering terjadi gesekan antara yang satu dengan yang lain yang mengakibatkan kejadian- kejadian negatif. Bahakan dalam politik yang harampun bisa menjadi halal.

Semua pengamat setuju bahwa semua tujuan tersebut diatas dapat tercapai jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang ada. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decession making), kebijakan publik (public policy) dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).

Menurut Rod Hague et al.: “politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok- kelompok mencapai keputusan- keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan- perbedaan diantara anggota- anggotanya.”
Sedangkan konsep politik dalam buku “Memahami Ilmu politik” karya Ramlan surbakti di jelaskan ada lima pandanganmengenai politik. Pertama, politik adalah usaha- usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber- sumber yang dianggap penting.

Sangat luas pengertian politik karena objeknya merupakan kehidupan dalam bermasyarakat sehingga memiliki kaitan dengan banyak hal. Sehingga maknanya pun sangat luas akan tetapi dalam makalah ini akan lebih menekankan politik dalam Islam terutama mengenai konsep politik antara Syi’ah dan Sunny. Yang akan dibahas pada baba- bab selanjutnya.

B. Politik dalam pandangan Islam

Wafatnya Rosul dengan tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menjadi khalifah untuk memimpin umat dan negara Islam merupakan faktor pertama penyebab timbulnya pertentangan dalam kalangan para pemimpin kaum untuk merebut kekuasaan “khilafah”. Dan pertentangan- pertentangan itu yang akhirnya menimbulkan firqoh- firqoh/ golongan- golongan dalam tubuh Islam demi memperebutkan jabatan kekhalifaha selanjutnya.
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
 Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu.
 Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.
Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqîfah Banî Sa'âdah muncul tiga ide politik, yaitu:

Kembali ke Sistem Kabilah
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum separatis (riddah).
Sistem Hak Warisan
Ide ini lahir dari kalangan Banî Hâsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbâs, 'Alî, dan Zubair.
Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan
Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Banî Hâsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'ân agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn Abî Râbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mâwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.
 Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
 Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.
 Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
 Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
 Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:
Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.

C. Konsep Politik Sunny dan Syi’ah

Ahlu sunnah
Ahlu sunnah atau yang dikenal dengna sunny pada mulannya merupkan sekelompok ulama’ yang berpendirian bahwa orang- orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah dan mu’tazilah telah banyak menyeeweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah menyeleweng dari “sunnah nabi” dan “sunnah para salaf”.
Sunny merupakan sebuah kelompok besar dalam Islam yang tetap teguh untuk mengikuti sunnah- sunnah nabi, yang itu berbeda dengan aliran- aliran lain daam Islam seperti syi’ah, khawarij ataupun mu’tazilah dan murji’ah. Para kelompok ulama’ ahlu sunnah tersebut kemudian menyebarluaskan ajarannya tersebut . akan tetapi kemusian pada suatu waktu digunakan olh para penguasa untuk menjadi alat politiknya, yaitu pada waktu mereka mendapat oposisi dari partai- partai yang telah ada. Dan inilah awal mula kelompok ahlu sunnah dipergunakan untuk menjadi alat politik oleh para penguasa dan akhirnya menjadi sebuah partai politik, sehingga disebut partai ahlu sunnah.

Lalu bagaimanakah bentuk politik dari kelompok sunny itu? Dalam membahasa tentang politik maka tidak ajauh dalam pembahasasn tentang pemeritahan, pemerintahan menurut orang sunny adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.

Ajaran utama dari ahlu sunnah adalah mengakui akan adanya khulafaur rasyiddin yaitu abu bakar rasyiddin, umar bin khatab, usman bin affan dan ali bin ali thalib. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sebenarnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunni membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syariah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunni dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan.
Seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya.
Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunni pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki seseorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentang karakteristik-karakteristiknya. Bagaimanapun, saat itu teori khalifah belum disakralkan dan baru terjadi sakralisasi pada dinasti Abbasiyah, di mana ahli hukum Sunni menciptakan dan memformulasikannya.

Otoritas Sunni menganggap khilafah sebagai lembaga politik yang sah dalam masyarakat Islam. Karena hanya ada satu ummat dan satu hukum Syariah, maka secara ideal hanya boleh ada satu orang khalifah yang melindungi ummat, serta mengawasi pelaksanaan syariah sesuai dengan pandangan ulama. Tetapi kemudian ketika khalifah kehilangan kekuasaan politik dan raja-raja kuat memerintah dunia Islam, teori ini direvisi terutama mengenai masalah yang mencakup khalifah, Sulthan, dan syariah. Khalifah melambangkan kesatuan ummat dan kekuasaan syariah, sedangkan Sulthan mengurus soal-soal aktual, militer dan politik, serta dimaksudkan untuk menjalankan hukum dan melindungi ummat.
Di dalam masyarakat Sunni tidak ada satu teori politik universal. Dasar utama pemikiran politik Sunni adalah prinsip bahwa khalifah adalah suatu pemerintahan yang menjaga aturan-aturan syariah yang menjamin penerapannya dalam praktik. Selama prinsip itu berjalan, boleh jadi terdapat perbedaan pendapat yang tak terbatas dalam penerapannya. Ahli fiqih Sunni berasumsi bahwa otoritas khalifah termasuk segalanya dan bahwa mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa, dengan sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh para ahli fiqih Sunni kontemporer, yang berargumen bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu sebagai penguasa atas kaum Muslim. Sebagai konsekuensi logis ialah tidak menjadi persoalan siapa yang memerintah dan bagaimana ia memperoleh otoritas tersebut. Dalam kenyataannya teori politik yang dikembangkan oleh teoritisasi Sunni praktis terus berubah bersama dengan perubahan politik yang terjadi di dunia Islam. (http://www.tasikmalayakota.go.id/forum/viewtopic.php?id=1198 diakses pada tanggal 20 november 2009)

Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat. Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan. Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut. Pemikiran politik Sunni ini ada pergeseran, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kudeta), yang justru melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah. (http://ruhullah.wordpress.com/2009/10/02/peta-pemikiran-politik-sunni-klasik/ diakses pada tanggal 20 November 2009)
Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Shi'ah. Pemikir Sunni, seperti Al MAwardi menulis kitab yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan. Kitab tersebut menjelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbassiyah. (http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/pemikiran_politik_sunni_masa_abbasiyah.single/ diakses pada tanggal 20 November 2009)

Syi’ah
Bibit dari terciptanya syi’ah adalah pendapat yang menyatakan bahwa Ali lah yang berhak menjadi khalifah; dan untuk selanjutnya adalah para pendukung Ali. Asas ajaran mereka bahwa khalifah yang dalam istilah mereka disebut “imam” adalah sayyidina Ali setelah wafatnya Rosulullah Muhammad, kemudian berturut- turut Imam itu ditetapkan oleh Alloh dari turunan Ali. Menurut mrereka mengakui Imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman. Imam menurut paham mereka adalah guru tertinggi yang ma’sum (terbebas dari dosa). Imam yang pertama (Ali) telah mewarisi ilmu dari Nabi, dia manusia luar biasa yang tidak mungkin salah. Ilmu menurut mereka ada dua macam; ilmu lahir dan ilmu kebatinan. Nabi telah mengajarkan kepada Ali kedua macam Ilmu ini, telah memperlihatkan kepadanya segala rahasia alam, yang sudah dan yang akan datang.

Golongan syi’ah terpecah menjadi beberepa sekte- sekte yang satu sama lainnya sangat berbeda. Ada sekte yang sangat ekstrim yang mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan. Diantara sekte- sekte dalam syi’ah adalah sebagai berikut: Zidiyah, Imamiyah yang kemudian bercabang menjadi beberapa sekte baru diantaranya yaitu Isna Asyariyah, Ismailiyah, dan sebagainya. Syi’ah merupakan kelompok yang memiliki madzhab fiqh, pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf dan keyakinan dalam akidah.sedangakan dalam hal politik dan pemerinytahan didalam syi’ah sangat terkenal dengan istilah Imamah.
Adapun Konsep imamah menurut Syi’ah adalah sebagai berikut:
Syi’ah Imamiah berpendapat bahwa Allah swt telah menyuruh Rasulullah saw untuk menetapkan penggantinya yaitu Ali bin Abi Thalib sepeninggal Beliau melalui ayat-ayat yang mereka interpretasikan sedemikian rupa.
Imamah (kepemimpinan) dalam pendapat Syi’ah setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Dalam Syi'ah kepemimpinan ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat.
Imamah, menurut mereka merupakan salah satu rukun agama. Karenanya pemilihannya tidak boleh diserahkan kepada ummat, melainkan Nabi-lah yang menetapkan seseorang Imam dengan jelas. Kedua, Seorang Imam haruslah seorang maksum. Pengertian maksum ini menurut anggapan mereka yaitu seorang yang suci, terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, dan ia tidak boleh berbuat suatu kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, berupa ucapan atau tindakan adalah hak dan benar. Ketiga, kaum Syi'ah menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah Imam yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Nabi sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas. Keempat, setiap Imam yang baru harus ditunjuk dan ditetapkan dengan nash oleh pendahulunya. Mereka berpegangan bahwa jabatan itu tidak dibenarkan pelaksanaannya di tangan umat.
Dalil-dalil mazhab Syiah selanjutnya adalah:
I. kita membutuhkan imam untuk menjadi Luthf dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban aqliah dan menghindari keburukan aqliah serta menjadi pemelihara ahama dari penambahan dan pengurangan
II. tidak ada jalan untuk mengetahui Allah kecuali melalui ajaran Rasul dan imam.
III. Rakyat membutuhkan imam untuk mengajari mereka kondisi makanan dan obat-obatan dan memberitahukan kepada mereka racun-racun yang mematikan, mengajari mereka profesi dan industri, dan menjaga mereka dari ketakutan dan penyakit
IV. Adanya penetapan imamah dengan pemilihan umat, bukan penunjukkan langsung dari Allah akan membawa kepada fitnah karena akan terjadi konflik atara orang-orang dengan motif yang banyak
V. Imam wajib ishmah dan merupakan makhluk yang paling berilmu di antara umat dan muslim antara dia dengan Allah
VI. Mereka yang memilih imam dengan cara baiat tidak memiliki hak untuk bertindak secara sendiri dalam urusan kaum muslimin dan mereka tidak berhak bertindak pada orang lain
VII. Imam adalah wakil Allah dan Rasul-Nya dan mewakili orang lain tidak akan terjadi tanpa izin dari yang diwakili
VIII. Imam adalah hujjah Allah di atas bumi. Seandainya imam tidak ada niscaya manusia punya alasan untuk durhaka. Keberadaannya menghapus alasan bagi mukallaf
1. Kekuasaan seorang faqih dalam pandangan Syi’ah
Pada mulanya konsep kekuasaan seorang faqih dalam politik Syi’ah belum dikenal. Konsep ini baru muncul setelah menghilangnya imam terakhir tahun 260 H. Konsep ini berdasarkan pada suatu dalil akal yang mengatakan bahwa membiarkan negara Islam tanpa pemimpin dalam jangka waktu yang tidak diketahui (sampai munculnya Mahdi, imam terakhir yang menghilang) merupakan pemandulan terhadap hukum-hukum Islam yang pada akhirnya membuat umat Islam kacau.

Oleh karena itu muncullah konsep kekuasaan seorang faqih. Pada mulanya kekuasaan seorang faqih hanya terbatas pada masalah-masalah keagamaan dan menentukan hukum-hukum yang bersifat parsial dalam pengadilan. Sedangkan kekuasaan umum dalam bentuk mengatur negara dan memobilisasi umat tetap menjadi kekuasaan imam.

Konsep ini mendapat persetujuan ulama-ulama Syi’ah karena didukung oleh beberapa pengalaman pahit yang dilalui oleh negara Islam Syi’ah sepanjang sejarah. Antara lain:
a. Kegagalan Syi’ah dalam membentuk suatu negara ‘teladan’ dan banyaknya perselisihan dan kezaliman- kezaliman yang dialami rakyat Syi’ah akibat konsep imamah yang diyakini secara letterlik, tanpa memberikan kekuasaan imamah tersebut kepada orang lain.
b. Munculnya revolusi-revolusi rakyat Syi’ah menentang kekuasaan penjajah di satu pihak, dan diyakininya konsep imamah secara letterlik di pihak lain membuat semangat revolusi kandas di tengah jalan dan penjajahan semakin semena-mena.
Syarat yang harus dipenuhi seorang faqih adalah:
1. Mujtahid. Jadi seorang faqih itu harus mampu mengambil hukum-hukum dari nash-nash yang ada dan harus mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai sistem perundang-undangan negara.
2. Adil. Seorang faqih harus mempunyai pendirian dan konsekuen dengan pendiriannya, sehingga keputusan-keputusan yang diambil nampak alami tidak dibuat-buat.
3. Seorang faqih harus laki-laki, berani, cerdik dan syarat-syarat leadership lainnya. (http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/artikel/isartikel/makalah/Makalah96-02/sayuti_syiah.htm diakses pada tanggal 20 November 2009)








Kesimpulan

Politik adalah suatu hal yang sangat wajar dalam kehidupan bermasyarakat, semua egiatan masyarakat pasti akan terdapat unsur politiknya. Mulai dari dalam lingkup kecil yaitu dalam lingkup keluarga atau yang lainnya maupn dalam lingkup yang lebih luas yaitu lingkup Negara atau bahkan lingkup Internasional. Jadi dimana ada orang yang berkumpul maka disitu akan terjadi reaksi politik.

Sehingga dalam Islam pun tidak melarang akan adanya konsep politik, malah sebaliknya justru dianjurkan karena politik merupakan sebuah konsep yang sangat dekan dengan dunia kepemimpinan, dan Islam sangat menekankan agar jika ada orang yang berkelompok maka haruslah memiliki seorang pemimpin.
Sehingga Isla pun sangat lekat dengan politik.

Maka dalam kelompok Sunny dan Syi’ah yang merupakan kelompok terbesar dalam Islam juga terdapat politik di dalamnya. Perbedaan mendasar keduannya adalah dalam hal mempercayai akan adanya empat khulafaur rasyiddin sebagai pengganti kekhalifahan setelah nabi wafat, kaum Sunny mengakuia akan adanya khulafaur rasyiddin sedangkan syi’ah berpedoman yag berhak menggantikan Nabi Muhammad adalah hanya ahlul bait dalam hal ini yaitu Sayyidina Ali dan keturunannya. Selain itu Sunny mengakui terhadap musyawarah untuk memilih pemimpin, akan tetapi dalam syi’ah tidak ada sistem musyawarah dalam memilih pemimpin. Mereka meyakini yang berhak memimpin adalah wakil yang sudah menjadi pilihan Alloh dalam konteks ini adalah Sayidina Ali dan keturunannya.

Sebagai kaum muslim sebaiknya kita tidak trjebak akan perbedaa- perbedaan tersebut, lebuh banyak permasalah umat muslim yang lebih Universal, kita harus berusaha untuk lebih memikirkan permasalahan- permasalahan yang dihadapi umat muslim yang universal bukan malah mempermasalahkan dalam lingkup internal Islam sendiri.




Daftar Pustaka

Budiarjo,Miriam. 2006. Dasar- dasar ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Prof. Hasjmy,A.1983. syi’ah dan ahlusunnah saling rebut pengaruh dan kekuasan sejak awal Islam di kepulauan Nusantara. Surabaya:PT Bina Ilmu.

Surbakti, Ramlan.1999. Memehami ilmu politik. Jakarta: PT Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar